Foto: John Tuba Helan
Kupang, Kriminal.co – Tuntutan terhadap Aldi Rano, Salmon Randa Terru, Adrianus Ceme terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan IT di Bank NTT Tahun 2015 lalu, jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat di NTT.
Pasalnya, dalam kasus tersebut yang nilai kerugiannya mencapai Rp 2, 1 miliar merupakan kerugian yang cukup besar dalam kasus korupsi.
Namun, sayangnya jaksa penuntut umum (JPU) Kejati NTT hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman hanya 1 tahun 6 bulan kurungan.
“Jaksa tidak mencerminkan rasa keadilan dalam kasus korupsi. Masa kerugiannya besar dituntut cuman 1 tahun 6 bulan, “kata pakar hukum pidana dari Undana Kupang, John Tuba Helan ketika dihubungi wartawan, Rabu (31/1) via hand phone selulernya.
Menurut Tuba Helan, jika dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya yang melibatkan kepala desa dengan kerugian hanya Rp 300 juta dituntut hingga #-4 tahun penjara. Anehnya, khusus Bank NTT kerugian hingga Rp 2, 1 miliar dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.
Diungkapkan Tuba Helan, peristiwa kasus dugaan korupsi Bank NTT akan menjadi pertanyaan besar di mata masyarakat NTT, ada apa dibalik kasus Bank NTT sehingga cuman dituntut demikian sedangkan.para Kades justru lebih tinggi.
“Masyarakat NTT akan bertanya-tanya, ada apa dibalik kasus Bank NTT jangan sampai ada sesuatu atau peristiwa kongkalikong meskipun hanya dugaan. Tapi orang akan berpikir demikian meskipun hanya menduga karena tidak ada rasa keadilan “ungkap Tuba Helan.
Ditegaskan Tuba Helan, dengan adanya peristiwa dalam kasus dugaan korupsi Bank NTT jaksa telah merusak citra penegakan hukum di Indonesia. Soal penitipan kerugian keuangan negara diakui merupakan salah satu petimbangan yang meringankan.
Namun, lanjutnya, bukan berarti itu menjadi patokan untuk dituntut rendah. Hal itu, tidak mencerminkan keadilan di Indonesia. “Jika dipikir secara logika tidak bisa diterima kalau alasan itu jadi meringankan terdakwa terus kalau yang sudah setor semua sebaiknya tidak usah dihukum. Itu artinya penegakan hukum di NTT belum benar dan belum adil,”sebut Tuba Helan.
Ketika ditanya bahwa tabel dari Kejagung RI yang menjadi patokan dalam penuntutan kasus korupsi, Tuba Helan menegaskan bahwa jika ada patokan demikian mengapa tidak dilaksanakan oleh oleh jaksa karena itu merupakan aturan yang datang dari pimpinan tertinggi.
Jika itu tidak dilaksanakan, tambah Tuba Helan, bagaimana suara rakyat kecil akan didengar oleh jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT.
“Aturan dari pimpinan saja tidak digunakan atau tidak dilaksanakan apalagi suara rakyat kecil. Tidak.mungkin akan didengar oleh jaksa. Dan itu saya berkesimpulan bahwa jaksa tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat di Indonesia “jelas Tuba Helan.(che)